Nafiatun Nasikhah
jadilah harokat dhomah,
Rabu, 23 Mei 2018
Selasa, 06 Juni 2017
PEMBIASAN HTI : MEMBAHAGIAKAN INDONESIA DAN
MERESAHKAN PEMERINTAH
Hiruk
pikuk Indonesia detik ini terkait sebuah ormas yang sedang melegenda,HTI, bukan
satu-satunya problem utama. Namun tak dapat dipungkiri, perlulah dicari jalan
keluar atas insidennya yang sudah menjadi berita api menyala-nyala dalam domain
negri bhineka ini. Sesungguhnya masing-masing kedua belah pihak memanglah benar
adanya menurut apa yang mereka yakini. Pemerintah dengan keyakinan bulatnya
menyatakan bahwa Hizbuttahrir Indonesia telah melanggar dasar negara pancasila
merupakan bukan tanpa bukti dan alasan, seluruhnya telah melalui proses yang
rumit dan tak sebentar. Hal ini
diperkuat dengan action yang tak main-main dari pemerintah dalam
pengumpulan pelbagai bukti yang
sebenarnya sudah ada baik dari Porli, Kemendagri maupun Kemenkem HAM. Dengan
ini pemerintah bisa dikata non-aksioma.
Disisi
lain, Hizbuttahrir sendiri yang melakukan pemberontakan akan dibubarkannya
ormas seta seluruh aktifitas mereka, juga memiliki alasan intens bahwa menurut
mereka tak ada satu sila pun dari kelima panca itu yang mereka nodai, bahwa
mereka adalah ormas berbadan hukum, yang mana kegiatannya adalah berdakwah.
Mereka meyakini bahwa dakwah ini adalah sampel aksi nyata dari pengamalan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Ketua
DPP HTI, Rokhmat Labib dalam polemik
sengitnya dengan tokoh pemuka ketua Gerakan
Pemuda Anshor, Syaiful Dasuki dan seorang politisi Nasdem, Effendy
Choiry bahwa HTI adalah ormas yang mengakui pancasila dan tak menafikannya,
mereka pula telah mengamalkan undang-undang mengenai ormas, yakni no 17 tahun
2013, sehingga apabila benar adanya pembubararan atas mereka maka menurutnya rezim ini adalah represif yang secara tidak permisi asal
membubarkan tanpa alasan mendasar. HTI tentu tak ingin dianaktirikan, pula tak
ingin teraliensi. Hal ini menjadi menarik bila dikajii lebih mendalam. Sebab
tak ada yang tau mana diantara kedua belah pihak yang benar, pemerintah atau
ormas itu sendiri. Sekali lagi, mereka adalah benar menurut apa yang mereka
yakini masing-masing.
“Ketetapan
MPRS NoXX MPRS/1966 menyatakan, Pancasila adalah sumber dari segala sumber
hukum tidak lain adalah nilai-nilai pancasila sebagai norma dasar paling
fundamental, sehingga mampu menjadi pandangan hidup dan visi masa depan.
Pancasila harus diletakkan sebagai ideologi negara yang memberi ruang hidup
bagi ideologi lain sepanjang tidak bertentangan dengan gagasan pokok pancasila.”
Apa yang diungkapkan oleh As’ad Said Ali dalam bukunya yang berjudul Negara
Pancasila Jalan Kemaslahatan Bangsa ini perlu percobaan untuk dikaitkan
dengan konsep siyasah dari HTI, yakni khilafah. Khilafah berdasar apa yang
disampaikan oleh salah seorang pengikut HTI, dalam sebuah situsnya menuturkan
bahwa khilafah atau imamah menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam
Assulthaniyyah diposisikan untuk mengganti nabi dalam menjaga agama dan
mengurus dunia, dan mengangkat orang yang melakukannya (menjaga agama dan
mengurus dunia) ditengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’. Dengan ini
memang tujuan khilafah adalah wajib menurut mereka. Apa yang disampaikan oleh
ketua GP Anshor yang mendebat Kyai Rokhmat Labib terkait konsep khilafah HTI
bahwa dalam Kitab Manhaj Hizbuttahrir mengharuskan khilafah tidak boleh serasi
dengan pancasila dan undang-undang bisa saja dijamin kebenarannya meskipun
secara lisan HTI menyatakan bahwa mereka sepadan dengan ideologi negara ini. Entah
ini merupakan sebuah fakta atau sekedar kamuflase.
Apabila
khilafah sudah diterapakan di Indonesia maka secara definitif seluruh sistem
akan didasarkan pada sistem pemerintahan sebagaimana zaman Rasul dulu. Hal ini
sudah jelas akan membiaskan pancasila, undang undang, kebhinekaan serta NKRI,
atau yang biasa disebut dengan empat pilar. Indonesia yang berciriikan
keragaman dari berbagai aspek akan kehilangan jati dirinya. Ideologi negara
menjadi bukan pancasila lagi. Adanya disparitas terpaksa harus disamakan
mengikuti seluruh sistem rezim Islam. Inilah hal pokok yang memotivasi
pemerintah membubarkan mereka. Namun ada satu hal yang perlu diingat oleh
pemerintah. Seharusnya tidak secepat dan semudah itu mereka memutuskan sesuatu
Walaupun telah dilakukan berbagai pengumpulan bukti atas ketidakbenaran HTI
yang memberi wacana menyebabkan runtuhnya keutuhan NKRI. Keberadaan ormas yang
berkembang di Indonesia tahun 80an ini bukan tanpa perjuangan keras
menyosialisasikan dan menyebarkan dakwahnya hingga seluruh penjuru tanah air.
Asumsi-asumsi dampak dari adanya kebijakan penyirnaan HTI harus lebih didiskusikan lagi. Bentuk
protes mereka yang tidak dihargai akan menimbulkan rasa bahwa mereka semakin
terpojokkan dimana tak adalagi dukungan, dengan kata kasar barangkali akan
tumbuh dendam dalam diri. Sekali lagi, karena ideologi adalah bagaikan hati. Ia
adalah bagian dari kehidupan bagi yang menganutnya sehingga mustahil jika
konsep khilafah dengan begitu saja dihenyakkan dari batin mereka. Maka apabila
mereka resmi dituntaskan dari negri ini justru akan semakin merajalela dakwah
mereka secara teka-teki yang pemerintah semakin tak mampu mendeteksinya lagi. Keputusan
pembubaran dapat saja membahagiakan Indonesia dan pemerintahnya secara kasat
mata, namun dalam jangka panjang malah akan meresahkan dan merepotkan
pemerintah dalam mengidentifikasi keberadannya. Penyebaran dakwah yang tersembunyi
akan secara perlahan kembali membawa kejutan bahwa mereka masih ada, dan
khilafah masih diperjuangkan hingga tetes darah terakhir. Desisi pembiasan HTI
bukanlah absolut yang terbaik. Mungkin. Mindset pemerintah perlu dikaji dan
digali kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)